Sabtu, 12 Oktober 2013

Permasalahan Di Indonesia

Permasalahan:
“Kurang dapat melepaskan diri dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal ini dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan sesaat bagi dirinya dan orang dekatnya, terutama yang dianggap berjasa seperti tim suksesnya. Reformasi yang bergulir sampai saat ini melahirkan UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih yang bebas Korupsi, kolusi dan nepotisme. Tetapi pada tataran empirik menunjukkan kasus korupsi juga terus semakin meningkat. Kasus korupsi yang diduga melibatkan pejabat negara seperti para menteri, mantan menteri, gubernur, mantan gubernur, bupati dan sebagainya menunjukkan bahwa pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dalam tertib hukum dan tertib sosial justru malah menjadi terdakwa dengan tuntutan tindak pidana korupsi.”

Solusi:

Menurut saya, para pemimpin kurang dibekali mental yang baik. Pendidikan tinggi tanpa dibekali mental akan sia-sia karena semakin tinggi pendidikan seseorang, bisa semakin tinggi pula godaan yang menghadapinya. Harta dan tahta bisa menjadi ujian bagi setiap orang. Kelemahan hukum di Indonesia juga menjadi salah satu alas an Korupsi Kolusi dan Nepotisme merajalela di Indonesia. Ketidaktegasan hukum membuat seorang pemimpin tidak jera dengan perbuatannya. Pemimpin seharusnya dibekali pendidikan jasmani dan rohani yang kuat karena semakin tinggi jabatan, semakin banyak peluang untuk melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Upacara Adat Rambu Solo

Upacara Adat Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja (upacara penyempurnaan kematian) untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan yang disebut Puya, di bagian selatan tempat tinggal manusia. Puncak acara ini disebut Upacara Rante serta acara lain seperti Adu Kerbau, Adu Kaki dan-lain-lain.
Upacara Adat Rambu Solo sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini lengkapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap Upacara Adat Rambu Solo ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi.
Tana Toraja merupakan salah satu dari daerah di Indonesia yang menjadi pusat perhatian dunia dan merupakan salah satu daya tarik wisata paling populer di Pulau Sulawesi. Hal tersebut bukan hanya karena keindahan alamnya, namun juga karena kekayaan budayanya. Tator (sebutan tana toraja oleh wisatawan) terletak di Sulawesi Selatan dan memiliki populasi sekitar 450.000 jiwa. Suku Toraja tinggal di daerah pegunungan dengan beragam budaya yang dimiliki, salah satu budayanya yang paling terkenal ialah tradisi upacara pemakaman (Rambu Solo).
Masyarakat Suku Toraja menganut “Aluk to dollo” atau adat yang merupakan kepercayaan, aturan, dan ritual tradisional ketat yang ditentukan nenek moyangnya. Meskipun saat ini mayoritas masyarakat Toraja banyak yang memeluk agama Protestan atau Katolik tetapi tradisi-tradisi leluhur dan upacara ritual masih terus dilakukan hingga sekarang. Dalam upacara pemakaman (Rambu Solo), masyarakat Toraja percaya jika upacara pemakaman tidak dilakukan maka arwah orang yang meninggal akan mendatangkan musibah/kemalangan kepada orang-orang yang ditinggalkan. Orang yang sudah meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, jasadnya harus terus dirawat dan diperlakukan seperti masih hidup dengan meyediakan makanan, minuman, rokok ataupun sirih.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini terkadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan (Rumah Adat Toraja). Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Rangkaian upacara yang menjadi daya tarik turis domestik atau luar negeri adalah saat pemotongan puluhan hingga ratusan ekor kerbau (Ma’tinggoro Tedong). Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam “masa tertidur”. Menebas leher kerbau menggunakan sebilah parang (La’bo dualallan) dalam sekali ayunan, lalu kerbau pun langsung terkapar bermandikan darah beberapa saat kemudian. Ini merupakan salah satu atraksi yang khas dari masyarakat Tana Toraja.
Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Dalam kepercayaan masyarakat Tana Toraja ada prinsip semakin tinggi tempat jenazah diletakan maka semakin cepat rohnya untuk sampai menuju nirwana. Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya terkadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

Sumber:


Tari Saman

Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo (Gayo Lues) yang biasa ditampilkan untuk merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman mempergunakan bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh didirikan dan dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Tari Saman ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia dalam Sidang ke-6 Komite Antar-Pemerintah untuk Pelindungan Warisan Budaya Tak benda UNESCO di Bali, 24 November 2011.


Sejarah Tari Saman
Mengapa tarian ini dinamakan tari Saman? Tarian ini di namakan Saman karena diciptakan oleh seorang Ulama Aceh bernama Syekh Saman pada sekitar abad XIV Masehi, dari dataran tinggi Gayo. Awalnya, tarian ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Namun, kemudian ditambahkan iringan syair-syair yang berisi puji-pujian kepada Allah SWT, serta diiringi pula oleh kombinasi tepukan-tepukan para penari. Saat itu, tari saman menjadi salah satu media dakwah.
Pada mulanya, tari saman hanya ditampilkan untuk even-even tertentu, khususnya pada saat merayakan Hari Ulang Tahun Nabi Besar Muhammad SAW atau disebut peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Biasanya, tari saman ditampilkan di bawah kolong Meunasah (sejenis surau panggung). Namun seiring perkembangan zaman, tari Saman pun ikut berkembang hingga penggunaannya menjadi semakin sering dilakukan. Kini, tari saman dapat digolongkan sebagai tari hiburan atau pertunjukan, karena penampilan tari tidak terikat dengan waktu, peristiwa atau upacara tertentu. Tari Saman dapat ditampilkan pada setiap kesempatan yang bersifat keramaian dan kegembiraan, seperti pesta ulang tahun, pesta pernikahan, atau perayaan-perayaan lainnya. Untuk tempatnya, tari Saman biasa dilakukan di rumah, lapangan, dan ada juga yang menggunakan panggung.
Tari Saman biasanya ditampilkan dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syekh. Penari Saman dan Syekh harus bisa bekerja sama dengan baik agar tercipta gerakan yang kompak dan harmonis.

Makna dan Fungsi Tari Saman
Tari saman merupakan salah satu media untuk pencapaian pesan (dakwah). Tarian ini mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna kepada para pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan kontinu, pemainnya terdiri dari pria-pria yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan, dipertandingkan antara group tamu dengan grup sepangkalan (dua grup). Penilaian ditititk beratkan pada kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak lawan.

Paduan Suara Tari Saman
Tari Saman biasanya ditampilkan tidak menggunakan iringan alat musik, akan tetapi menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang pemimpin yang lazimnya disebut Syech. Karena keseragaman formasi dan ketepatan waktu adalah suatu keharusan dalam menampilkan tarian ini, maka para penari dituntut untuk memiliki konsentrasi yang tinggi dan latihan yang serius agar dapat tampil dengan sempurna. Tarian ini khususnya ditarikan oleh para pria.
Pada zaman dahulu,tarian ini pertunjukkan dalam acara adat tertentu,diantaranya dalam upacara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu, khususnya dalam konteks masa kini, tarian ini dipertunjukkan pula pada acara-acara yang bersifat resmi,seperti kunjungan tamu-tamu Antar Kabupaten dan Negara,atau dalam pembukaan sebuah festival dan acara lainnya.   

Nyanyian Tari Saman
Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu dalam tari saman dibagi dalam 5 macam :
1.      Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.
2.      Dering, yaitu regnum yang segera diikuti oleh semua penari.
3.      Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian tengah tari.
4.      Syek, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking, biasanya sebagai tanda perubahan gerak
5.      Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.

Gerakan Tari Saman
Tarian saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman: Tepuk tangan dan tepuk dada.Diduga,ketika menyebarkan agama islam,syeikh saman mempelajari tarian melayu kuno,kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah islam demi memudakan dakwahnya. Dalam konteks kekinian,tarian ritual yang bersifat religius ini masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-pertunjukan.
Tarian saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik,kerena hanya menampilkan gerak tepuk tangan gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang,kirep,lingang,surang-saring (semua gerak ini adalah bahasa Gayo)

Penari Tari Saman
Pada umumnya,Tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya harus ganjil.Pendapat Lain mengatakan Tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10 orang,dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.Namun, dalam perkembangan di era modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syeikh. Selain mengatur gerakan para penari,Syeikh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman. yaitu ganit.

Sumber: