Kebudayaan Banten
Banyak
para ahli mendefinisikan kebudayaan yang secara redaksional dan mungkin
substansial berbeda satu sama lain. Kaitan dengan upaya agar mudah melihat
kebudayaan Banten, konsep kebudayaan yang kiranya sederhana ialah yang
dikemukakan oleh Dr. Koentjaaningrat. Ia menyatakan bahwa kebudayaan ialah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi
ini menunjukkan dengan jelas bahwa kebudayaan itu meliputi dimensi gagasan
(sebagai aspek ideal yang tidak terlihat), dimensi perbuatan (tindakan)
(sebagai aspek faktual yang dapat dilihat), dan dimensi hasil karya (sebagai
aspek fisik yang dapat dilihat dan diamati berulang kali).
Dari
ketiga dimensi tersebut yang bisa dikenali secara langsung adalah kebudayaan
pada dimensi fisik dan perbuatan (kelakuan). Kemudian diperlukan juga kejelasan
pada unsur apa dua dimensi tersebut diamati. Yang paling mungkin ialah pada
unsur-unsur kebudayaan yang menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur, yaitu:
1.
Bahasa
2.
Sistem Pengetahuan
3.
Organisasi Sosial
4.
Sistem Religi
5.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
6.
Sistem Mata Pencaharian Hidup
7.
Kesenian
Banten
sebagai komunitas kultural sebagaimana dinyatakan di atas, tentu dengan
kebudayaannya itu dapat diamati melalui unsur-unsur kebudayaannya, khususnya pada
dimensi fisik atau kelakuan (perbuatan). Unsur-unsur kebudayaan tersebut memang
ada pada kebudayaan Banten yang berarti bahwa Banten sebagai komunitas kultural.
Pengamatan untuk ini dilakukan dengan melihat sisi-sisi tradisi dan sisa-sisa
peninggalan fisik (artefak) di Banten yang secara simbolik dapat
diinterpretasi. Apalagi sisa-sisa tradisi dan sisa-sisa peninggalan fisik itu
menurut Ambari, sarat dengan ciri dan pengaruh Islam.
v
Budaya Banten
dan Perubahan-perubahannya
Melalui
unsur-unsur kebudayaan, kiranya dapat digambarkan keberadaan Banten dari masa
pertama dan perkembangannya kini. Secara deskriptif dapat dikemukakan sbb:
1.
Bahasa
Sebelum
kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan
politiknya di Banten Girang, adalah bahasa Sunda. Sedangkan bahasa Jawa, dibawa
oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh puteranya, Hasanuddin, berbarengan
dengan penyebaran agama Islam. Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda
dan bahasa Jawa itu saling mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa
Jawa dengan dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri.
Artinya, bahasa Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa
Sunda juga terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga membentuk
bahasa sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya di
daerah-daerah Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di Banten
bagian Selatan.
Bahasa
Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan berkembang di Banten,
bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk pada pusat-pusat pemerintahan di
daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan
bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan
demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa
Jawa. Pada akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap berkembang meskipun keraton tiada
lagi.
Bahasa
Jawa dimaksud dalam pengungakapannya menggunakan tulisan Arab (Pegon) seperti kita temukan pada manuskript, babad,
dan dokumen-dokumen tertentu. Penggunaan huruf Arab (Pegon) didorong oleh dan
disebabkan karena:
Penggunaan
aksara lama terdesak oleh huruf Arab setelah Islamisasi.
Huruf
Arab menjadi sarana komunikasi kaum maju, sedangkan aksara menjadi alat
komunikasi kaum elit/lama/feodal, ditambah pihak kolonial yang mengutamakan
aksara jawa. Kaum maju tersebut adalah masyarakat pemberontak, atau
setidak-tidaknya tidak setuju dengan adanya penguasaan asing sehingga huruf
Arab dipergunakan sebagai sarana lebih aman dan juga rahasia.
Di
lain pihak, terutama kaum lama, penggunan huruf Pegon memberikan corak Islam
dalam tulisan yang tidak selalu bersifat Islam, sehingga lebih aman beredar/mengisi
permintaan rakyat.
Untuk
mempermudah kajian dan penelitian isi, terutama masalah-masalah hukum, huruf
Arab lalu disalin ke dalam tulisan (huruf) latin sebelum kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa lain, terutama Belanda. Bahasa Jawa dengan tulisan latin itu
merupakan perkembangan kemudian karena pada aslinya menggunakan tulisan Arab.
Demikian pula perkembangan perbendaharaan kata dipengaruhi oleh lingkungan
bahasa Sunda, bahasa Arab, dan bahasa lain. Pada jaman penjajahan Belanda, ada
juga pengaruh bahasa Belanda yang masuk ke dalam bahasa Jawa, misalnya sekola,
yang semula ginau. Pada perkembangan sekarang, bahasa Jawa Banten ternyata juga
dipengaruhi oleh bahasa Indonesia; mungkin demikian seterusnya, tetapi bahasa
ini akan tetap ada sesuai dengan keberadaan pendukungnya.
2.
Sistem Pengetahuan
Pengetahuan
manusia merupakan akumulasi dari tangkapannya terhadap nilai-nilai yang diacu
dan dipahami, misalnya agama, kebiasaan, dan aturan-aturan. Pengetahuan manusia
tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan elemen-elemen lain, dan
karena itu maka disebut sistem pengetahuan. Salah satu (sistem) pengetahuan
sebagai salah satu unsur kebudayaan Banten adalah misalnya pengetahuan tentang
kosmologi (alam semesta). Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang
kosmologi orang Banten adalah bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang
dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu
hierarchi Sultan adalah suci.
Gusti
Pangeran itu mempunyai kekuatan yang luar biasa yang sebagian kecil dari
kekuatannya itu diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Yang
mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah
para Sultan dan para Wali, karena itu Sultan dan para Wali itu sakti. Kesaktian
Sultan dan para wali itu dapat disebarkan kepada keturunan dan kepada siapa
saja yang berguru (mengabdi).
Pengetahuan
yang berakar pada kosmologi tersebut masih ada sampai kini sehingga
teridentifikasi dalam pengetahuan magis. Mungkin dalam perkembangan kelak tidak
bisa diprediksi menjadi hilang, bahkan mungkin menjadi alternartif bersama-sama
dengan (sistem) pengetahuan yang lain.
3.
Organisasi Sosial
Yang
dimaksud dengan organisasi sosial adalah suatu sistem dimana manusia sebagai
mahluk sosial berinteraksi. Adanya organisasi sosial itu karena ada ketundukan
terhadap pranata sosial yang diartikan oleh Suparlan sebagai seperangkat
aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam suatu
struktur yang mencakup suatu satuan kehidupan sosial, dan mengatur peranan
serta berbagai hubungan kedudukan, dan peranan dalam tindakan-tindakan dan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Di
antara bentuk organisasi sosial di Banten adalah stratifikasi sosial. Pada awal
di jaman Kesultanan, lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan
dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan. Kemudian para pejabat
kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya
kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam
stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu
berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah lapisan itu.
4.
Sistem Religi
Yang
dimaksud dengan sistem religi adalah hubungan antar elemen-elemen dalam upacara
agama. Agama Islam sebagai agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah
kesultanan, dalam upacara-upacaranya mempunyai sistem sendiri, yang meliputi
peralatan upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya dalam upacara
Salat, ada peralatan-peralannya dari sejak mesjid, bedug, tongtong, menara,
mimbar, mihrab, padasan (pekulen), dan lain-lain. Demikian pula ada pelakunya,
dari sejak Imam, makmum, tukang Adzan, berbusana, dan lain-lain; sampai
kemudian tata cara upacaranya.
Di
jaman kesultanan, Imam sebagai pemimpin upacara Salat itu adalah Sultan sendiri
yang pada transformasinya kemudian diserahkan kepada Kadi. Pada perubahan
dengan tidak ada sultan, maka upacara agama berpindah kepemimpinannya kepada
kiyai. Perkembangan selanjutnya bisa jadi berubah karena transformasi peranan
yang terjadi.
5.
Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Kehidupan
masyarakat memang memerlukan peralatan dan teknologi. Memperhatikan paralatan
hidup dan teknologi dalam kebudayaan Banten, dapat diperoleh informasinya dari
peninggalan masa lalu. Salah satu diantaranya misalnya relief, penemuan
benda-benda arkeologis, dan catatan-catatan masa lalu. Di jaman kesultanan,
kehidupan masyarakat ditandai dengan bertani, berdagang, dan berlayar termasuk
nelayan. Dari corak kehidupan ini terlihat bahwa peralatan hidup bagi petani
masih terbatas pada alat-alat gali dan lain-lain termasuk pemanfaatan hewan
sebagai sumber energi.
Angkutan
dan teknologi pelayaran masih memanfaatkan energi angin yang karenanya
berkembang pengetahuan ramalan cuaca secara tradisional, misalnya dengan
memanfaatkan tanda-tanda alam. Demikian pula teknik pengolahan logam, pembuatan
bejana, dan lain-lain, memanfaatkan energi alam dan manusia. Tentu saja aspek
(unsur kebudayaan) ini secara struktural mengalami perubahan pada kini dan
nanti, meski secara fungsional mungkin tetap.
6.
Sistem Mata Pencaharian Hidup
Gambaran
perkembangan mengenai hal ini untuk sejarah manusia, akan tersentuh dengan
kehidupan primitif, dari hidup berburu sampai bercocok tanam. Hubungannya
dengan kebudayaan Banten, sistem mata pencaharian hidup sebagai salah satu
unsur kebudayaan, terlihat dari jaman kesultanan. Mata pencaharian hidup dari
hasil bumi menampilkan adanya pertanian. Dalam sistem pertanian itu ada tradisi
yang masih nampak, misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan
orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut
tradisi.
Dalam
nelayan misalnya ada sistem simbiosis antara juragan dan pengikut-pengikutnya
dalam usaha payang misalnya. Kedua belah pihak dalam mata pencaharian hidup itu
terjalin secara tradisional dalam sistem mata pencaharian. Mungkin pula
hubungan itu menjadi hubungan kekerabatan atau hubungan Patron-Clien.
Pada
masa kini kemungkinan sistem tersebut sudah berubah, disamping karena perubahan
mata pencaharian hidup, juga berubah dalam sistemnya karena penemuan peralatan
(teknologi) baru. Demikian pula kemungkinan di masa yang akan datang.
7.
Kesenian
Kesenian adalah
keahlian dan keterampilan manusia untuk menciptakan dan melahirkan hal-hal yang
bernilai indah. Ukuran keindahannya tergantung pada kebudayaan setempat, karena
kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dari segi macam-macamnya,
kesenian itu terdapat banyak macamnya, dari yang bersumber pada keindahan suara
dan pandangan sampai pada perasaan, bahkan mungkin menyentuh spiritual.
Ada tanda-tanda
kesenian Banten itu merupakan kesenian peninggalan sebelum Islam dan dipadu
atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur mesjid dengan tiga
tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at, tharekat,
hakekat. Arsitektur seperti ini berlaku di seluruh masjid di Banten. Kemudian
ada kecenderungan berubah menjadi bentuk kubah, dan mungkin pada bentuk apa
lagi, tapi yang nampak ada kecenderungan lepas dari simbolisasi agama melainkan
pada seni itu sendiri.
Arsitektur rumah
adat yang mengandung filosofi kehidupan keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai
prifasi, yang dituangkan dalam bentuk ruangan paralel dengan atap panggung Ikan
Pe, dan tiang-tiang penyanggah tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi
keindahan fisik sehingga arsitekturnya hanya bermakna aestetik.
Mengenai kesenian
lain, ada pula yang teridentifikasi kesenian lama (dulu) yang belum berubah,
kecuali mungkin kemasannya. Kesenian-kesenian dimaksud ialah:
o
Seni Debus Surosowan
o
Seni Debus Pusaka Banten
o
Seni Rudat
o
Seni Terbang Gede
o
Seni Patingtung
o
Seni Wayang Golek
o
Seni Saman
o
Seni Sulap-Kebatinan
o
Seni Angklung Buhum
o
Seni Beluk
o
Seni Wawacan Syekh
o
Seni Mawalan
o
Seni Kasidahan
o
Seni Gambus
o
Seni Reog
o
Seni Calung
o
Seni Marhaban
o
Seni Dzikir Mulud
o
Seni Terbang Genjring
o
Seni Bendrong Lesung
o
Seni Gacle
o
Seni Buka Pintu
o
Seni Wayang Kulit
o
Seni Tari Wewe
o
Seni Adu Bedug
o
Dan lain-lain
Kesenian-kesenian
tersebut masih tetap ada, mungkin belum berubah kecuali kemasan-kemasannya,
misalnya pada kesenian kasidah dan gambus. Relevansi kesenian tradisional ini
mungkin, jika berkenaan dengan obyek kajian penelitian maka yang diperlukan
adalah orisinilitasnya. Tetapi jika untuk kepentingan pariwisata maka perlu
kemasan yang menarik tanpa menghilangkan substansinya.
Walaupun
mungkin, secara umum kesenian-kesenian tersebut akan tunduk pada hukum
perubahan sehubungan dengan pengaruh kebudayaan lain. Mungkin karena tidak
diminati yang artinya tidak ada pendukung pada kesenian itu, bisa jadi lama
atau tidak, akan punah. Karena itu, mengenai kesenian yang tidak boleh lepas
dari nilai-nilai Kebudayaan Banten, bisa jadi atau malah harus ada perubahan
kemasan.
Sumber
: